Suatu realitas yang tak terbantahkan bahwa tidak satu negara pun di
dunia yang memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang
dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Negara mana oun di dunia sekarang selalu
didukung oleh pluralitas penduduk dari segi etinik. Implikasi dari pluralitas
etnik adalah lahirnya pluralitas dalam aspek budaya , bahasa, agama , bahkan
kelas sosial dalam satu negara. Lebih – lebih Indonesia yang terdiri atas
ribuan pulau yang tersebar di Nusantara dan memiliki ratusan etnik. Di sisi
lain , karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya di dalam hal
etnik dan agama. Di Indonesia terdapat tidak hanya puluhan etrnis , melainkan
ratusan etnis dengan bahasa dan budayanya masing-masing yang satu dengan
lainnya berbeda. Selain itu, berbagai etnik itu pada umumnya menganut agama
masing-masin yang satu dengan yang lainnya berbeda.
Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang di akui oleh negara
yaitu :
Islam,Kristen,Katolik,Hindu,Budha dan Kong Hu Cu. Karena Bhineka Tunggal
Ika terasa pas dengan kondisi bangsa Indonesia yang denikian majemuk dan
heterogen.
Dengan pluralitas komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita
dapat menghimpun dan mengembangkan berbagai potensi bangsa yang ada. Pluralitas
budaya yang ada di tanah air misalnya, merupakan kekayaan yang tiada tara dan
harus disyukuri. Namun, di sisi lain pluralitas tradisi dan agama, mudah sekali
menimbulkan gesekan antarberbagai kelompok komunal, yang pada gilirannya akan
dapat memunculkan kekerasan sosial.
Lebih jauh, pluralitas bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan
terhadap tindak kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan
antar-agama, di samping antarkelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan
politik di Indonesia pada zaman orde baru lazim disebut dengan SARA (suku,
agama, ras, dan antargolongan).
Ada beberapa hal dalam makalah ini yang kami jadikan sebagai
rumusan masalah, yaitu :
Ø Apa
definisi dari SARA?
Ø Faktor
apa saja yang menyebabkan terjadinya konflik?
Ø Solusi
apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik?
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
v Diajukan
untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Umum Pancasila kelas PCL.12.
v Untuk
memberi sedikit pengetahuan bagi kami sebagai kelompok IV dan juga teman-teman
dalam mengetahui hal-hal tentang SARA
Konflik berasal dari kata kerja Latin Configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat
daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di
antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.[1]
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari
adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap
tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi
telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.[2]
Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif
yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada
tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi
antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling
tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi
hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau,
satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang
secara negatif (Robbins, 1993).
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan
individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam
pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih
individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules,
1994:249).
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui
perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).[3]
Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni
tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan
yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237;
Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan
yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda – beda (Devito, 1995:381)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa :
Suku--bangsa kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan
sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan,
khususnya bahasa;
Selain itu juga ada pendapat lain yang berusaha men definisikan
mengenai apa itu suku bangsa:
1. Dikutip
dari id.wikipedia.org Kelompok etnik atau suku
bangsa adalah suatu golongan manusia yang
anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang
dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan
ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau
ciri-ciri biologis.[4]
2. Menurut Koentjaraningrat (1989), suku bangsa
merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem
interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas
dan rasa identitas yang mempersatuan semua anggotanya serta memiliki
sistemkepemimpinan sendiri.
3. Menurut Theodorson dan Theodorson yang
dikutip oleh Zulyani Hidayah (1999), kelompok etnik adalah suatu kelompok
sosial yang memiliki tradisi kebudayaan dan rasa identitas yang sama sebagai
bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar.
4. Menurut Abner Cohen yang dikutip oleh Zulyani
Hidayah (1999), kelompok etnik adalah suatu kesatuan orang-orang yang secara
bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, ataukebudayaan, dan
yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling
berinteraksidalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti negara.
Jadi kesimpulan dari definisi
diatas ialah suku bangsa sebagai kesatuan hidup manusia yangmemiliki kebudayaan
dan tradisi yang unik, membuat mereka mereka memiliki identitas khusus dan berbeda
dengan kelompok lainnya, dan suku bangsa merupakan bagian dari populasi yang
lebih besar yang disebut dengan bangsa.[5]
Agama berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “a” yang
berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau, maka agama berarti tidak kacau
(teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang
mengatur keadaan manusia, maupun mengenai kepada kekuatan ghaib, mengenai budi
pekerti dan pergaulan hidup bersama.
Pengertian agama dalam konsep sosiologi adalah :
kepercayaan terhadap hal-hal yang spiritual, seperangkat kepercayaan dan
praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri, dan ideologi
mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.
Menurut Dradjat dalam Widiyanta, agama adalah proses
hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya. Bahwa
sesuatu lebih tinggi dari pada manusia.
Sedangkan Glock dan Stark mendefiniskan agama sebagai
simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembaga,
yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang
paling maknawi (Ultimate Meaning).[6]
Cliffort Geertz mengistilahkan agama sebagai sebuah
sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan
motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dari dalam diri
manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi
dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas sehingga
suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realistis.
Menurut Hadikusuma dalam Bustaniddin Agus, agama
adalah sebagai ajaran yang diturunkan oleh tuhan untuk petunjuk bagi umat dalam
menjalani kehidupannya. Ada juga yang menyebut agama sebagai salah satu ciri
kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat
mempunyai cara-cara berfikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi untuk disebut
“Agama” yang terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-ilai
spesifik dengan mana manusia menginterpretasikan eksistensi mereka yang di
dalamnya juga mendukung komponen ritual.
Menurut Anthony F.C dalam buku antropologi William A
Haviland mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi
rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatann supernatural
dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan
pada manusia atau alam.
Menurut Aman, Grendy Hendrastomo, dan Nur Hidayah,
agama merupakan sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal-hal yang suci dan mempersatukan semua penganutnya dalam
suatu komunitas moral yang dinamakan umat.
Secara sederhana pengertian agama dapat dilihat dari
sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut isltilah (terminologi). Mengartikan
agama dari sudut pandang kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada
mengartikan agama dari sudut pandang istilah karena subjektivitas dari orang
yang mengartikannya.
Pengetian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti
antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat
Indonesia dari kata agama, dikenal pula kata dinyang berasal dari
bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Selanjutnya
ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan
agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa
agama berarti tuntutan. Pengertian ini tampak menggambarkan salah satu fungsi
agama sebagai tuntutan bagi kehidupan manusia.[7]
Selanjutnya din dalam bahasa Semit
berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Pengertian ini
juga sejalan dengan kandungan agama yang di dalamnya terdapat
peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi penganut agama
yang bersangkutan. Selanjutnya agama juga menguasai diri seseorang dan membuat
ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama
lebih lanjut membawa utang yang harus dibayar oleh para penganutnya. Paham
kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan.
Orang yang menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan
mendapatkan balasan yang baik dari Tuhan. Sedangkan orang yang tidak
menjalankan kewajiban dan ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat balasan
yang menyedihkan.[8]
Selanjutnya kata religi berasal dari
bahasa Latin. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa
asal kata religi adalah relegere yang mengandung arti
mengumpulkan dan membaca. Pengertian itu sejalan dengan isi agama yang
mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab
suci yang harus di baca. Tetapi menurut pendapat lain, religi berasal dari kata religare yang
berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi
manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan antara roh manusia dengan
Tuhan, dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan.[9]
Dari beberapa definisi tersebut, akhirnya Harun
Nasution menyimpulkan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di
atas adalah ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan
manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera.
Adapun pengertian agama dari segi istilah dapat
dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K. Nottingham dalam bukunya Agama
dan Masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gejala yang begitu
sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk
membuat abstraksi ilmiah. Lebih lanjut, Nottingham mengatakan bahwa agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan
khayalnya yang paling luas dan juga digunakan untuk membenarkan kekejaman orang
yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan
batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Sementara itu
Durkheim mengatakan bahwa agama adalah pantulan dari solidaritas sosial. Bahkan
kalau dikaji, katanya, Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat.
Kemudian kaum sosiolog mendefinisikan agama dari
kenyataannya yang bersifat lahiriah dan bukan dari aspek batiniahnya.
Pengertian agama yang dibangun oleh kaum sosiolog bertolak dari das
sein, yakni agama yang dipraktikkan dalam kenyataan empirik yang terlihat,
dan bukan berangkat dari aspek das sollen, yakni agama yang
seharusnya dipraktikkan dan secara normatif teologis sudah pasti baik adanya.
Agama dalam kenyataan empirik ini bisa jadi berbeda dengan agama yang terdapat
pada aspek batinnya yang bersifat substantif. Kita mengetahui bahwa substansi dan
misi agama akan menjadi aktual ketika agama tampil dalam bentuk yang nyata,
bisa dikenali manusia, dan lebih jauh lagi adalah bahwa dengan bentuk itu
substansi agama menjadi fungsional dan operasional.[10]
Hubungan antara substansi agama dengan bentuknya yang
tampil dalam kenyataan lebih lanjut menjadi bahan kajian kaum perenialis.
Pendekatan perennial terhadap agama, apa pun namanya, selalu menghubungkan
dengan substansinya, yaitu inti ajaran agama yang keberadaannya berada di balik
bentuk formanya. Substansi ini bersifat transenden tetapi juga sekaligus
imanen. Ia transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak
terjangkau kecuali melalui predikat atau bentuk formanya yang lahiriah. Namun
begitu, agama juga bersifat imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat
dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat
hierarki, maka substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia
bersifat perennial, tidak terbatas karena ia merupakan
pancaran dari yang mutlak. Ibarat air, substansinya adalah satu tetapi bisa
saja kehadirannya mengambil bentuk berupa lautan, uap, mendung, hujan, sungai,
kolam, embun dan lain sebagainya.[11]
Kemudian Schoun mengatakan, “bahwa setiap agama
memiliki satu bentuk dan satu substansi.” Bentuk agama adalah relatif, namun di
dalamnya terkandung muatan substansi yang mutlak. Karena agama merupakan
gabungan antara substansi dan bentuk, maka agama kemudian menjadi sesuatu yang
absolut tetapi sekaligus relatif, yakni absolut substansinya dan telatif
bentuknya. Dengan demikian, definisi agama yang dikemukakan para sosiolog
termasuk ke dalam definisi yang bersifat relatif dilihat dari segi bentuknya,
sedangkan absolut dilihat dari segi substansi yang terkandung di dalamnya.[12]
Selanjutnya, Harun Nasution mengatakan bahwa agama
dapat diberi definisi sebagai berikut :
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang
menguasai manusia.
Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang
mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan
cara hidup tertentu.
Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang
berasal dari kekuatan gaib.
Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang
diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari
perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat
dalam alam sekitar manusia.
Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang rasul.
Dari beberapa definisi tersebut, kita dapat menjumpai
4 unsur yang menjadi karakteristik agama sebagai berikut :
Pertama, unsur kepercayaan terhadap
kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk yang
bermacam-macam. Dalam agama primitif, kekuatan gaib tersebut dapat mengambil
bentuk benda-benda yang memiliki kekuatan misterius (sakti), ruh atau jiwa yang
terdapat pada benda-benda yang memiliki kekuatan misterius; dewa Tuhan atau
Allah dalam istilah yang lebih khusus dalam agama Islam.
Kedua, unsur kepercayaan bahwa
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat nanti
tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud.
Dengan hilangnya hubungan yang baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang
dicari akan hilang pula. Hubungan baik ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk
peribadatan, selalu mengingat-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan
menjauhi segala larangan-Nya.
Ketiga, unsur respon yang bersifat
emosional dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil bentuk rasa takut,
seperti yang terdapat pada agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang
terdapat pada agama-gama monoteisme. Selanjutnya, respon tersebut dapat pula
mengambil bentuk penyembahan seperti yang terdapat pada agama-agama monoteisme
dan pada akhirnya respon tersebut mengambil bentuk dan cara hidup tertentu bagi
masyarakat yang bersangkutan.
Keempat, unsur paham adanya kudus (sacred) dan
suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung
ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, tempat-tempat tertentu, peralatan untuk
menyelenggarakan upacara, dan sebagainya.
Dari uraian tersebut kita dapat mengambil suatu
kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil
renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan
oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan
pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang
di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya
menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut
tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.
Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya 5
aspek yang terkandung dalam agama, antara lain sebagai berikut:
1. Aspek
asal-usulnya. Yaitu adanya yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan
ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama
kebudayaan.
2. Aspek
tujuannya. Yaitu untuk memberiktan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan
akhirat.
3. Aspek ruang
lingkupnya. Yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa
kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya
hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya
yang dianggap suci.
4. Aspek
permasyarakatannya. Yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari
generasi ke generasi lain.
5. Aspek
sumbernya. Yaitu kitab suci.
Kata “ras” berasal dari bahasa Prancis-Italia “razza” yang artinya
pembedaan variasi penduduk berdasarkan tampilan fisik (bentuk dan warna rambut,
warna mata, warna kulit, bentuk mata, dan bentuk tubuh. Umumnya ras dibagi
menjadi 3: mongoloid, kaukasian dan negroid.[13]
Selain itu pengertian ras kadangkala mengacu pada pemilikan
perangai, pemilikan kualitas perangai/sikap kelompok tertentu, menyatakatan
kehadiran penduduk dari geografis tertentu. Bisa juga ras mengacu pada
tanda-tanda aktivitas sebuah kelompok yang mempunyai gagasan, ide dan cara
berpikir tertentu. Ras juga sering dikaitkan dengan masalah keturunan,
keluarga,klan dan hubungan kekeluargaan sebuah kelompok.[14]
Tapi secara umum Ras adalah pengelompokan berdasarkan cirri
biologis, bukan berdasarkan cirri-ciri sosiokultural. Dengan kata lain, ras
berati segolongan penduduk suatu daerah yang mempunyai sifat-sifat keturunan
tertentu berbeda dengan penduduk daerah lain.
A.L. Krober membagi ras di dunia menjadi:
1. Ras
Mongoloid (Berkulit Kuning), yaitu penduduk asli wilayah
Eropa, sebagian Afrika, dan Asia. Mereka bisa dibagi menjadi: Asiatic
Mongoloid, Malayan Mongoloid, American Mongoloid.
2. Ras
Negroid (Berkulit Hitam), yaitu penduduk asli wilayah
Afrika dan sebagian Asia. Mereka bisa dibagi menjadi: African Negroid, Negroto,
Melanesian
3. Ras
Kaukasoid (Kulit Putih), yaitu penduduk asli wilayah
Eropa, sebagian Afrika, dan Asia. Mereka bisa dibagi menjadi: Nordic,Alpine,
Mediteranian, Indic.
4. Ras
Khusus Yang Tidak Dapat Diklasifikasikan, ras ini antara lain :
Bushman, Veddoid, Australoid, Polynesian, Ainu.[15]
2.1.5. Definisi Antar Golongan
Anantomi atau Antar golongan dalam SARA bisa diartikan sebagai
berikut :
v Max
Weber mengatakan bahwa golongan adalah “Suatu Kumpulan Manusia Dalam
Satu Wadah Kemasyarakatan”
v Kamus
Besar Bahasa Indonesia, golongan adalah “Golongan Masyarakat Dalam Satu
Wilayah Yang Lebih Menonjolkan Identitas Dari Jenis Mereka”
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada
sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan
dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan
pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan
sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan
segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.[16]
SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
1. Kategori
pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu
maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun
pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina
identitas diri maupun golongan.
2. Kategori
kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu
institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja
atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur
organisasi maupun kebijakannya.
3. Kategori
ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide
diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.[17]
Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk
kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan
ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan
yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik
suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik,
kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau
kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis
kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral
menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
SARA akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu
sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara
suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar
dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antaragama
Katolik dan Islam, merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras,
antargolongan) di negara kita. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku
bangsa, maka masalah SARA merupakan hal biasa. Tapi ada beberapa hal menarik
untuk dicermati dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan
nonpribumi (baca: Cina) sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap
menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali
sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", berupa
upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia, meskipun
masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini
memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab
pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat
struktural.[18]
SARA, khususnya agama, sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita
perlu bersikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah
pemicu utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya
menjadi "limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah
penguasaan sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan
suatu etnik tertentu. Demikian pula halnya suku dalam SARA. Sebagai contoh,
kebetulan etnik Cina atau suku Makasar dan Madura mampu bersaing dalam
penguasaan sumber alam, maka merekalah yang dijadikan tumpuan kemarahan suku
yang merasa kehilangan penguasaan sumber alamnya.[19]
Kita memang perlu melihat masalah SARA dari perspektif lain, yakni
perspektif ketidakseimbangan antara suku dalam akses mereka pada sumber alam
dan faktor-faktor pada tingkat makro lain, seperti belum terciptanya birokrasi
yang secara politis netral. Perspektif seperti ini akan melihat masalah
sebenarnya yang kini dihadapi bangsa ini, karena SARA hanya merupakan
"limbah" masalah dasar itu, serta wahana mobilisasi masyarakat, guna
menarik perhatian pemerintah untuk menyelesaikan masalah dasar tersebut.
Indonesia memang perlu perubahan apabila ingin memasuki abad ke-21 dengan utuh
sebagai suatu bangsa.[20]
SARA tak akan mampu memicu terjadinya suatu ketegangan apabila tak
terkait dengan faktor struktural yang ada dalam masyarakat. Singapura dan
Malaysia adalah negara multietnik dan multibudaya, namun hubungan antaretnik
relatif harmonis. Hipotesis saya, karena Pemerintah Malaysia dan Singapura
-berserta aparaturnya- termasuk pemerintahan yang bersih, baik dari segi
ekonomi maupun politik. Karena aparatur kedua pemerintahan itu bersih, maka
keadilan pun terjamin.
Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu pemerintahan yang
bersih. Akibatnya, keadilan sulit dicapai.Sekelompok etnik tertentu, yang
bekerja sama dengan aparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat
memanfaatkan kesempatan yang diciptakan pemerintah. Hal ini kemudian
menimbulkan masalah SARA atau sikap anti terhadap suku tertentu.
Tapi kita perlu memahami bahwa masalah tersebut muncul karena
kelompok etnik itu mengalami political insecurity dalam masyarakat, sehingga
mereka perlu mencari security melalui aliansi dengan aparatur pemerintah yang
mengalami economic insecurity.
Gejala menarik yang terjadi di negara kita, adanya satu birokrasi
yang merupakan bagian suatu Organisasi Sosial Politik (ORSOSPOL).
Ketidaknetralan birokrasi itu dapat memancing ketegangan sosial yang
manifestasinya adalah pada tindakan SARA. Contohnya, beberapa gejolak sosial
pada Pemilu 1997, seperti terjadi di Pekalongan. Dalam hal ini, kita dapat
mendeteksi adanya political insecurity di kalangan aparatur, yakni takut
kehilangan jabatan apabila orsospol tertentu kalah. Political insecurity itu
sering dimanifestasikan dalam tingkah laku yang bersifat overakting, yang dapat
menimbulkan reaksi keras dari orsospol lain, yang pada akhirnya menimbulkan
tindakan SARA.[21]
Ada beberapa konflik di tanah air ini yang sering dikaitkan dengan
isu-isu SARA, diantaranya yang berhasil kami dapatkan adalah sebagai berikut:
Ø Konflik
Poso
Ø Konflik
Sampit
Ø Konflik
Kaum Syi’ah Sampang
Ø Konflik
Ambon
Ø Konflik
Etnis Tionghoa
2.3.1. Perbedaan Individu, Yang Meliputi Perbedaan
Pendirian Dan Perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.3.2. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan Sehingga
Membentuk Pribadi-Pribadi Yang Berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendiriankelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
2.3.3. Perbedaan Kepentingan Antara Individu Atau
Kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para
tokoh masyarakat menanggap
hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka
sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi
para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna
mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan,
hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas
terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
2.3.4. Perubahan-Perubahan Nilai Yang
Cepat Dan Mendadak Dalam Masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat
memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang
mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial
sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak
pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi
nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasiformal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.[22]
Pasal
156 KUHP “barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa indonesia di
hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat tahun) dengan hukuman
denda setinggi-tingginya 450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah)”.
Pasal
157 Ayat 1 “barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan
tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan
permusuhan, kebencian, atau merendahkan di antara atau terhadap golongan rakyat
indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan ”.
Pasal
28 Ayat 2 UU ITE “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, agama, suku,
dan antar golongan (SARA). Ancaman pelanggar pasal tersebut, yakni pidana
penjara paling lama 6 (enam tahun) dan atau denda paling banyak
1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah)”.
UUD
No 32 Tahun 2004 Pasal 78 Huruf B “dalam kampanye dilarang menghina
seseorang, agama, ras, suku, golongan, dan calon kepala daerah atau wakil
kepala daerah atau partai politik. ”.
Pasal
116 Ayat 2 “bagi tiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan
pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 Huruf B. Maka akan
diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga bulan) atau palin lama 18
(delapan belas bulan) dan atau denda paling sedikit 600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah) dan paling banyak 6.000.000,00 (enam juta rupiah)”
Dari uraian di atas apat diambil beberapa kesimpulan bahwa :
Ø SARA
adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas
yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap
tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan
pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan
ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat
pada manusia.
Ø Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya konflik yaitu :
1. Perbedaan
Individu
2. Perbedaan
Latar belakang budaya
3. Perbedaan
Kepentingan
4. Perubahan-perubahan
nilai dan budaya yang cepat
Saran yang dapat kami berikan yaitu :
Ø Untuk
Pemerintah, “Sejahterakan Rakyat, dengan memajukan Ekonomi, Pembangunan, dan
Keadilan”
Ø Untuk
Mahasiswa, “Toleransi dan HAM harus terus ditegakkan”
v Abdullah,
Taufik. (1974). “Pemuda dan Perubahan Sosial”, Jakarta, LP3ES.
v Bachtiar,
Harsya W. (1976), “Masalah Integrasi Nasional di Indonesia”, Jakarta,
Prisma LP3ES.
v Budiman,
Arif. (1985), “Pemuda dan Sosialisasi”, Lokakarya Penyusunan
Kumpulan Minimal Bahan Peragaan Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar Universitas
Brawijaya, Malang, Tanggal 21-27 Januari 1985.
v Hasan,
Fuad. (1975), “Kita dan Kami, An Analysis of the Basic Modes of
Togetherness”, Jakarta. Bhratara.
v Mantra,
Ida Bagus. (1980), “Beberapa Masalah Penduduk di Indonesia dan
Akibatnya di Bidang Sosial Ekonomi”, Prisma.